Senin, 10 Maret 2008

puasa

PUASA RAMADHAN MENURUT AL-QUR’AN DAN HADITS

2.1 Definisi Puasa

Secara etimologi (bahasa), puasa berasal dari kata bahasa arab صام, يصوم,صوما, artinya menahan diri. Sedangkan menurut istilah syara puasa (shaum) artinya menahan diri dari makan, minum, bersetubuh serta segala sesuatu yang membatalkannya dengan niat ibadah mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Dari definisi di atas dapat kita fahami bahwa puasa adalah salah satu bentuk atau cara kita belajar merasakan keadaan orang lain karena esensi puasa adalah membentuk pribadi yang taqwa.

2.2 Dalil Disyari’atkannya Puasa Ramadhan

Firman Allah SWT, surat Al-Baqarah ayat 183-187:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (البقرة: 183)

أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ (البقرة: 184)

شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ يُرِيدُ اللّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُواْ الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُواْ اللّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (البقرة: 185)

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ (البقرة: 186)

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَآئِكُمْ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ عَلِمَ اللّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ فَالآنَ بَاشِرُوهُنَّ وَابْتَغُواْ مَا كَتَبَ اللّهُ لَكُمْ وَكُلُواْ وَاشْرَبُواْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّواْ الصِّيَامَ إِلَى الَّليْلِ وَلاَ تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللّهِ فَلاَ تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللّهُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ (البقرة: 187)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. (QS. 2:183)

(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. 2:184)

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (QS. 2:185)

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. (QS. 2:186)

Dihalalkan bagi kamu pada malam hari puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu, mereka itu adalah pakaian, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasannya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam,(tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangang Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa”. (QS. 2:187)

Berdasarkan Al-Baqarah 183 di atas, Allah SWT mewajibkan puasa kepada orang-orang beriman, kenapa Allah menyeru orang beriman bukan orang muslim?. Karena puasa adalah ibadah yang hanya diketahui oleh Allah dan orang yang berpuasa itu sendiri, boleh jadi orang yang islam hanya mengaku berpuasa dihadapan orang lain, tetapi ketika sendiri dia tidak meninggalkan makan dan minum karena tidak memiliki keimanan dalam dirinya. Maksud “orang-orang sebelum kamu” dalam ayat diatas, yaitu sbagai penguat perintah berpuasa. Setelah mampu menjalankan ibadah puasa dengan penuh keimanan, maka tujuan puasa akan ditercapai yaitu taqwa, karena taqwa adalah penyempurnaan dari iman seseorang.

Begitu urgennya puasa bagi pembentukan pribadi taqwa, sehingga orang yang berhalangan untuk menunaikannya tidak begitu saja meninggalkan puasa. Bagi orang yang sakit dan dalam perjalanan, diharuskan mengqadlanya sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain. Sedangkan bagi orang yang tidak bias berpuasa dan tidak memungkinkan mengqadlanya seperti menyusui atau orang yang sakit kronis, maka Allah menunjukkan rahman dan rahimNya dengan menggantinya agar membayar fidyah. Secara syar’i, fidyah adalah makanan yang diberikan kepada fakir miskin sebagai pengganti hari-hari yang tidak dipuasai. Makanan tersebut terdiri makanan pokok penduduk setempat dengan jumlah satu hari puasa diganti satu kali memberi makan kepada seorang miskin.

Dalam ayat 185, Allah menjelaskan bahwa pada bulan ramadhan Dia menurunkan kitab suci yang menyempurnakan kitab sebelumnya yaitu al-qur’an. Ayat tersebut menjelaskan bahwa bulan ramadhan adalah bulan ibadah yang harus diisi dengan mengakrabkan diri dengan al-qur’an, baik itu dengan banyak membacanya ataupun mempelajarinya karena al-qur’an merupakan petunjuk bagi kita dan mendapat pahal besar membacanya. Firman Allah:

إِنَّ هَـذَا الْقُرْآنَ يِهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ وَيُبَشِّرُ الْمُؤْمِنِينَ الَّذِينَ يَعْمَلُونَ الصَّالِحَاتِ أَنَّ لَهُمْ أَجْرًا كَبِيرًا (الإسراء:9)

“Sesungguhnya al-Qur'an ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi khabar gembira kepada orang-orang Mu'min yang mengerjakan amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar” (QS. Al-Isra:9)

Pada ayat 186, Allah menjelaskan Dia maha mengetahui apa yang hamba-hanmbanya, Apakah mereka mengisi bulan ramadhan dengan ‘amal shaleh atau ‘amal salah. Dan Dia pun akan mengabulkan orang-orang yang berpuasa penuh keimanan karena Allah lebih dekat dari urat leher hambanya.

Terdapat suatu riwayat yang berkenaan dengan turunnya ayat ini. Bahwa ketika rasulullah mendengar do’a kaum muslimin kepada Allah dengan suara yang kuat, yaitu tatkala terjadi perang haibar.

Puasa bukanlah menyiksa diri, tetapi sebenarnya hanya memindahkan waktu makan, minum atau bersetubuh pada malam hari. Ketika malam tiba maka yang dilarang pada siang hari diperbolehkan malam harinya. Hal ini sesuai dengan isi firman Allah SWT dalam ayat 187, dan merupakan bukti bahwa ibadah puasa melatih kita untuk senantiasa bersabar dalam hidup ini.

2.3 Hakikat Puasa

Puasa adalah ibadah yang tidak dapat dijangkau oleh indera manusia, karena tidak akan mengetahuinya kecuali Allah dan orang yang berpuasa sendiri. Maka jadilah puasa itu merupakan ibadah antara Allah dengan hamba itu. Karena puasa itu ibadah dan bentuk ketaatan yang hanya diketahui oleh Allah, maka Dia menghubungkan puasa itu dengan DzatNya. Allah SWT berfirman:

كلّ عمل ابن أدم له إلاّ الصيّام فإنّه لي وأنا أجز به....... (رواه الشيخان والنسائ وابن حبّان)

“Semua amal perbuatan Bani Adam menyangkut dirinya pribadi, kecuali puasa karena puasa itu untuk Ku, dan akulah yang akan membalasnya.......”(HQR. Syaikhani, Nasai dan Ibnu Hibban).

Tetapi ada yang mengatakan bahwa dihubungkannya dengan DzatNya adalah karena puasa adalah sebuah ibadah yang tidak pernah digunakan seorangpun untuk menyekutukan Allah. Karena ada orang yang menyembah berhala dan bersujud kepadanya, bersembahyang kepada matahari dan bulan dan bersedekah untuk berhala. Mereka adalah orang-orang kafir. Tetapi tidak ada seorangpun yang berpuasa untuk berhala, bulan atau matahari.

Menurut Abul Hasan arti firman Allah “Dan akulah yang akan membalasnya”, bahwa semua ibadah pahalanya adalah surga, sedang puasa balasanya adalah pertemuan dengan-Ku (Allah), Aku memandangnya an dia dapat memandang-Ku, dan dia dapat berbicara kepada-Ku dan Aku akan berfirman kepadanya tanpa seorang pelantara dan penerjemah.

2.4 Tujuan dan Asal Mula Disyari’atkan Puasa

Disebutkan bahwa maksud puasa adalah menjatuhkan musuh Allah SWT. Karena sarana yang dipergunakan setan adalah dengan nafsu syahwat, dan hanya dengan makan dan minum syahwat itu bisa menjadi kuat. Maka dari puasa tidak akan diperoleh tujuan menjatuhkan musuh Allah dan mematahkan syahwat kecuali hanya dengan menundukkan nafsu melalui sedikit makan. Karena itulah diriwayatkan dalam disyari’atkannya puasa, bahwa Allah SWT telah menciptakan akal, lalu berfirmanlah Dia; “Menghadaplah”. Maka akal itu menghadap. Kemudian Allah berfirman lagi: “Membelaknglah”. Lalu membelakanglah dia. Lalu Allah berfirman lagi: “Siapakah engkau ini dan siapakah Aku?”, berkatalah akal “Engkau adalah Tuhanku dan aku adalah hambaMu yang lemah”. Kemudian Allah menciptakan nafsu. Berfirman Allah kepadanya: “Menghadaplah”. Tetapi dia tidak menurut. Kemudian Allah berfirman lagi kepadanya: “Siapakah engkau ini dan siapakah Aku?”, nafsu itu menjawab “Aku ya aku dan Engkau ya Engkau”. Maka Allah menyiksanya dengan api jahannam selama seratus tahun lamanya. Kemudian Allah mengeluarkannya dan berfirmanlah Dia: “Siapakah engkau ini dan siapakah Aku?”, dia tetap menjawab “Aku adalah aku dan Engkau adalah Engkau”, seperti semula. Maka Allah meletakannya di dalam neraka “kelaparan” selama seratus tahun. Lalu Alah bertanya kepadanya dan barulah dia mengakui bahwa dirinya adalah hamba sedang Allah adalah Tuhannya. Akhirnya Allah mewajibkannya berpuasa disebabkan semua itu. (Misykah)

Dikatakan bahwa hikmah diwajibkannya berpuasa selama tiga puluh hari adalah karena bapak kita nabi Adam AS setelah makan syajaratul khuldi di surga, bercocoklah syajarah itu di perutnya selama tiga puluh hari. Setelah nabi Adam bertaubat kepada Allah, maka Allah memerintahkannya berpuasa selam tiga puluh hari tiga puluh malam. Karena kenikmatan dunia ini ada empat: makanan, minuman, bersetubuh dan tidur. Semua itu sebagai penghalang bagi hamba kepada Allah. Dan Allah mewajibkan puasa atas nabi Muhammad SAW da umatnya pada siang hari dan diperbolehkan makan pada malam harinya. Ini adalah suatu anugerah dan kemurahan Alah kepad kita.

2.5 Keutamaan Puasa pada Bulan Ramadhan

Bulan ramdhan adalah bulan yang ditunggu oleh kaum muslimin yang benar-benar beriman, karena pada bulan tersebut terdapat keutamaan-keutamaan yang belum tentu ada pada bulan yang lainnya. Sabda rasulullah:

روي عن النبيَّ عليه الصلاة والسلام أنّة قال: أعطيت أمّتي خمسة أشياء لم تعط لإحد قبلهم. الأوّل إذا كان أوّل ليلة من رمضان ينظرالله إليهم باالرحمة ومن نظرالله إليه بالرحمة لا يعذّبه بعده أبدا. والثاني يأمرالله تعالى الملئكة ب الإستغفار لهمز والثالث أنّ رائحة فم الصائم أطيب عندالله من ريح المسك. والرّابع يقول الله تعالى للجنّة إتّخذي زينتك طوبى لعباد المؤمنين هم أوليائ. والخامس يغفرالله تعالى لهم جميعا. ولذا روي عن أبي هريرة رضيّ الله عنه أنّه قال: قا ل صلىّ الله عليه وسلّم, من صام رمضان إيمانا وإحتسابا غفر له ما تقدّم من ذنبه (رواه بخاري)

Diriwayatkan dari nabi Muhammad SAW, beliau bersabda: “Ummatku ini diberikan lima hal yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun sebelum mereka:

1) Apabila tiba malam pertama bulan ramadhan, maka Allah memandang mereka dengan penuh rahmant, dan barang siapa dipandang Allah dengan penuh rahmat, maka Allah tidak akan menyiksanya setelah itu untuk selamanya.

2) Allah SWT memerintahkan para malaikat untuk memohon ampun bagi mereka.

3) Bahwa bau mulut orang yang berpuasa adalah lebih harum di sisi Allah daripada bau misik (minyak wangi kasturi).

4) Allah SWT berfirman kepada surga: “Ambillah perhiasanmu”. Dan berfirman : “Beruntunglah sekali hamba-hambaku yang mukmin itu. Mereka adalah kekasih-kekasih aku”.

5) Allah SWT mengampuni mereka seluruhnya.

Karena itu diriwayatkan dai Abu Hurairah ra. Dia berkata: “Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barang siapa yang berpuasan bulan ramadhan dengan keimanan yang mencari pahala, diampunilah dosa-dosanya yang terdahulu” (HR. Bukhari)

2.6 Tingkatan Puasa

a. Puasa orang-orang awam

Puasa orang awam adalah mengekang perut dan kemaluan untuk tidak memenuhi syahwatnya. Puasa semacam ini adalah puasa yang kebanyakan dilaksanakan oleh kita, tingkatan puasa ini biasanya hanya sekedar menahan perut dan kemaluan saja, tetapi kurang mampu mengekang hawa nafsu untuk melakukan perbuatan-perbuatan tercela seperti ghibah. Puasa seperti ini memang syah menurut fiqh, tetapi apabila tidak dibarengi dengan menahan diri dari perbuatan tercela maka boleh jadi dia hanya dapat puasanya tanpa mendapat pahala dari puasanya.

b.Puasa orang khusus

Puasa orang khusus adalah puasanya orang-orang shaleh mengekag semua anggota tubuh untuk tidak berbuat dosa. Maka itu tidak dapat sempurna kecuali menekuni lima hal:

1) Menahan mata dari segala hal yang dibenci syara’.

2) Memlihara dari pergunjingan, bohong dan adu domba serta sumpah palsu. Karena riwayat Anas dari nabi Muhammad SAW beliau bersabda:

خمسة أشياء تحبط الصوم الكذب والغيبة والنميمة واليمين الغموس والنظر بشهوة

“Lima hal yang akan menghapus pahala puasa: bohong, menggunjing, adu domba, sumpah palsu dan memandang dengan syahwat”.

1) Mengekang telinga untuk tidak mendengar hal-hal yang dibenci.

4) Mengekang semua anggota tubuh dai hal-hal yang dibenci agama. Mengekang perut dari perkara-perkara yang syubhat ketika berbuka. Karena tidak ada artinya berpuasa dari makanan halal kemudian berbuka dengan makanan haram. Perumpamaanya adalah seperti orang yang membangun sebuah gedung tetapi menghacurkan sebuah kota yang ada.

قال عليه الصلاة وسلّم: كم من صائم ليس له من صيامه إلاّ الجوع ولعطش

Nabi Muhammad SAW bersabda: “Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi tiada baginya dari puasa itu kecuali lapar dan dahaga”.

5) Tidak memperbanyak makan makanan halal waktu berbuka sehinga penuh perutnya. Karena itulah nabi Muhammad SAW bersabda:

ما من وعاء أبغض إلى الله من بطن مليئ من الحلال

“Tiada wadah yang dibenci oleh Allah daripada sebuah perut yang dipenuhi dengan makanan halal”

Idealnya seorang mukmin harus mencapai tingkatan puasa ini agar puasanya tidak hanya sekedar ibadah ritualitas belaka tetapi ibadah yang berkualitas.

c. Puasa orang yang lebih khusus

Puasa orang lebih khusus adalah puasa hati dari tujuan-tujuan rendah dan pemikiran tentang duniawi serta menahannya dari segala hal selain Allah sama sekali. Jadi seandainya berpuasa seperti itu berfikir sesuatu selain Allah, maka batallah puasanya. Puasa seperti ini adalah puasa para nabi dan shidiqiin. Pada kenyataannya puasa seperti ini adalah menghadap kepada Allah SWT sepenuhnya dan berpaling dari yang lainNya.

masturbasi

DAFTAR ISI

BAB 1. PENDAHULUAN ......................................................................................

  1. Latar Belakang .............................................................................................
  2. Rumusan Masalah ........................................................................................
  3. Tujuan Penulisan ..........................................................................................
  4. Metode penulisan .........................................................................................

BAB 11. ANALISIS TEORITIS TENTANG BIMBINGAN KONSELING

PERKEMBANGAN BAGI PESERTA DIDIK

  1. Pengertian Bimbingan....................................................................................
  2. Pengertian Konseling.....................................................................................
  3. Pengertian Bimbingan Perkembangan.............................................................
  4. Pengertian Peserta Didik...............................................................................

BAB 111. BIMBINGAN KONSELING BAGI PESERTA DIDIK

  1. Bimbingan Konseling untuk Taman Kanak-kanak..........................................

1. Karakteristik Siswa Taman Kanak-kanak................................................

2. Bidang Bimbingan konseling di Taman kanak-kanak................................

3. Jenis layanan Bimbinagn Konseling di Taman Kanak-kanak.....................

  1. Bimbingan Konseling Untuk Sekolah Dasar...................................................

1. karakteristik Siswa Sekolah Dasar...........................................................

2. bidang Bimbingan Konseling di Sekolah Dasar.........................................

3. Jenis-jenis layanan Bimbinagn Konseling di sekolah Dasar........................

  1. Bimbingan untuk Sekolah Menengah Pertama................................................

1. Karakteristik Siswa SMP........................................................................

2. Bidang Bimbingan Konseling di SMP.......................................................

3. Jenis-jenis Layanan Bimbingan Konseling di SMP....................................

  1. Bimbingan Konseling Untuk Sekolah Menengah Atas.....................................

1. karakteristik Bimbingan konseling Siswa SMA.........................................

2. Bidang Bimbingan Konseling di SMA......................................................

3. Jenis-jenis Bimbingan Konseling di SMA.................................................

  1. Bimbingan Konseling di Sekolah Menengah Kejuruan ...................................

1. karakteristik siswa SMK.........................................................................

2. Bidang Bimbingan Konseling di SMK......................................................

3. Jenis-jenis Layanan Bimbingan Konseling di SMK...................................

  1. Bimbingan Konseling di Perguruan Tinggi.......................................................

BAB 1V.PEMBAHSAN EMPIRIS BIMBINGAN KONSELING PERKEMBANGAN BAGI PESERTA DIDIK

BAB V. PENUTUP

  1. Kesimpulan...................................................................................................
  2. Saran............................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................

morfologi

MORFEM DAN MORFOLOGI

A. Morfem

Morfem adalah unit terkecil dalam pembagian sintaksis. Jadi, ia mencerminkan tingkatan yang lebih rendah daripada kata. Dari morfem itu tersusunlah unit-unit dalam tingkatan yang lebih tinggi. Misalnya: المصريون عرب . Ini merupakan kalimat yang tersusun dari 2 (dua) unit, yaitu: المصريون dan عرب; masing-masing unit dari kedua unit ini mencerminkan tingkatan yang lebih tinggi dalam analisis bahasa. Apabila kita analisis unit pertama ke dalam unit-unit yang lebih kecil, maka akan kita dapati bahwa unit itu terdiri dari unit-unit yang lebih kecil lagi, yaitu: ال + مصر+ ى + و + ن . Adapun unit kedua terdiri atas عرب + نون التنوين .

Teori morfem membantu para linguis dalam menjelaskan pembagian sintaksis secara elastis dalam semua bahasa. Ia membantu dalam membagi-bagi sintaksis ke dalam unit-unitnya yang esensial; ia mencerminkan perbedaan yang berarti antara linguistik dan filsafat. Menggunakan istilah morfem dalam kajian sintaksis lebih baik daripada menggunakan istilah kata karena beberapa sebab berikut.

1. Apabila kajian itu terpusat pada ujaran lisan, maka tidak akan dapat dibuat batasan-batasan awal dan akhir kata; dalam ujaran lisan kita tidak memberi tanda berhenti (waqaf) setelah setiap kata yang kita ucapkan. Tentu saja, pada pertama kalinya kita akan menemui kesulitan manakala kita mempelajari bahasa Asing. Kita akan menghadapi cengkraman yang menakutkan berupa kegaduhan yang berkesinambungan – yang pada mulanya kita tidak dapat mengenalinya. Kalimat itu dapat ditentukan/dibatasi dengan jelas, tetapi tidak ada cara untuk membatasi bagian-bagiannya kecuali dengan mengkajinya secara mendalam. Jadi, misalnya, kita tidak dapat mengetahui jumlah kata yang tersusun dalam kalimat; atau batasan-batasan apa yang memisahkan satu kata dari kata lainnya. Adapun membuat batasan-batasan antara satu kata dengan kata lainnya dalam bahasa yang belum pernah kita pelajari sebelumnya – merupakan suatu masalah yang rumit.

2. Kata tidak dipandang sebagai unit terkecil dari unit-unit yang dapat membentuk kalimat karena ada kata-kata yang dapat digunakan dengan bentuk tunggalnya sebagai kalimat. Misalnya, اذهب merupakan satu kata, tetapi ia mengungkapkan sebuah kalimat lengkap. Di sini, apakah ia merupakan sebuah kata atau sebuah kalimat.

3. Ada bagian-bagian kata yang tidak dapat dipandang sebagai sebuah kata. Akan tetapi hal ini penting dalam struktur kalimat, seperti huruf al-jarr (preposisi) dan al-lawâhiq (akhiran) yang menyatakan tasniyah (bentuk dualis) atau jamak atau ta’nis (tanda feminin) dhamir (pronomina) yang melekat pada fi’il (verba), seperti قتلني danقتلته ; lawasiq (awalan), seperti adat at-ta’rif/partikel definit (ال).

4. Ada unit-unit/satuan-satuan leksikal yang mengungkap-kan maknanya dengan paduan 2 (dua) kata, seperti معد يكرب. Di sini, bagaimana kita memerikannya secara sintaktis.

Oleh karena itu, pada tahun empat puluhan banyak kalangan linguis mulai cenderung menggugurkan istilah kata dalam mempertimbangkan kajian sintaksis dan mencari istilah lain yang paling cocok dalam analisis sintaksis. Dengan demikian, terbukalah kesempatan untuk munculnya gagasan tentang morfem untuk memecahkan masalah-masalah yang timbul karena tidak ada limitasi dan klasifikasi unsur-unsur sintaksis yang tidak dapat dijelaskan oleh istilah kata. Karena itu, dipakailah istilah morfem untuk menentukan bagian-bagian kalimat, baik berupa kata-kata maupun bagia-bagian kata. Jadi dalam waktu yang sama istilah ini merupakan istilah umum dan akurat. Maka unit-unit yang dipakai oleh bahasa-bahasa infleksional, seperti bahasa Turki, akan tampak dalam naungan teori morfem. Akan tetapi ia merupakan bagian-bagian pokok dalam pembentukan kalimat. Pemakaian istilah morfem dapat membatu dalam membandingkan antara sintaksis dalam berbagai bahasa atau mengkontraskan antara sintaksis dalam 2 (dua) bahasa yang berbeda. Morfem dapat membantu dalam menentukan morfem-morfem dalam bahasa tertentu dan menggolong-golongkannya dengan mudah sekali.

B. Jenis-jenis Morfem

Morfem terbagi atas 2(dua) macam, yaitu 1) morfem bebas dan 2) morfem terikat. Morfem bebas adalah morfem yang dapat berdiri sendiri, seperti ضرب, محمد dan .علي Adapun morfem terikat adalah morfem yang tidak dapat berdiri sendiri; ia bisa berupa awalan pada morfem bebas, seperti الهمزة pada أكتب ; berupa sisipan, seperti الألف pada كاتَب; atau berupa akhiran seperti تاء التأنيث pada فاطمة .

Dalam morfem bebas, linguis menaruh perhatian pada kajian bentuk-bentuk kata dan hubungan-hubungannya secara infleksional dari satu segi dan secara derivatif dari segi lainnya. Dalam morfem terikat, linguis menaruh perhatian pada penentuan semua morfem yang melekat pada morfem bebas, baik ia sebagai awalan, sisipan ataupun sebagai akhiran.

C. Morfem dan Morf

Apabila kita perhatikan sebuah kata, seperti أكبر, maka akan kita dapati bahwa kata itu menunjukkan makna mor-fologis umum, yaitu التفضيل (melebihkan). Makna itu telah diungkapkan dengan tanda atau bentuk khusus, yaitu أكبر . Oleh karena itu, makna morfologis dinamakan morfem dan tanda atau bentuk yang mengungkapkannya disebut morf.

Morfem dan morf dalam bahasa Arab kontras dengan wazan dan shigat. Makna yang terkandung dalam wazan itu adalah morfem dan shigat wazannya adalah morf. Maka apabila kita berusaha menganalisis, misalnya (كاتب), maka kita katakan bahwa ia adalah sebuah morfem yang menunjukkan musyarakah (menyatakan interaksi/saling). Adapun morfem atau wazannya adalah فاعل dan shigat yang ada di hadapan kita adalah كاتب. Tentu, dalam kajian sintaksis kita tidak akan membahas makna semantik bagi shigat كاتب karena ini termasuk kajian khusus leksikal.

D. Morfem dan Alomorf

Dalam kebanyakan bahasa terjadi bahwa morfem tertentu tidak hanya dinyatakan dengan morf yang sama, tetapi ia diungkapkan dengan sejumlah morf dalam konteks yang berbeda. Unsur yang mengungkapkan morfem yang sama disebut alomorf. Misalnya, morfem mutâwa’ah dalam bahasa Arab dinyatakan dengan beberapa alomorf yang berbeda, yaitu:

1. الألف والنون dalam shigat انفعل , seperti انكسر

2. الألف والتاء dalam shigat افتعل , seperti اعتدل

3. التاء وتضعيف العين dalam shigat تفعل , seperti تكسر

Ini berarti bahwa morf itu dapat berbeda, tetapi semua morf tersebut mengungkapkan morfem yang sama/satu morfem, yaitu mutâwa’ah.

Contoh-contoh alomorf dalam bahasa Arab antara lain: الواو dan النون untuk menyatakan jamak mudzakkar salim dalam keadaan rafa’, seperti المحمدون حاضرون ; الياء dan النون dalam keadaan nashab dan jarr, seperti سرت مع المحمدين ; الألف dan التاء untuk jamak muannats salim, seperti المسلمات مؤمنات.

E. Morfem Zero

Apabila kita analisis sebuah kalimat: كتب الدرس , maka akan kita dapati bahwa kalimat itu terdiri atas morfem-morfem berikut: فعل + فاعل + مفعول به. Fi’il tandanya adalah كتب , sedangkan fâ’il tidak memiliki tanda. Apabila kita perhatikan fi’il ini, maka kita dapati bahwa ia pasti mencakup dhamir ghaib dari segi maknanya. Hal ini karena shigat fi’il madhi yang tidak disandarkan kepada sesuatu (dhamir) dengan sendirinya ia mengungkapkan morfem fâ’il, dhamir gaib. Karena itu, fa’il di sini dinyatakan dengan morfem zero. Ini dalam istilah tradisional/klasik bahasa Arab disebut dhamir mustatir – kontras dengan istitar; kata yang beri’rab mahalli terdapat pada kalimat, seperti جاء موسى; isim manqus dalam keadaan rafa’ dan jarr terdapat dalam kalimat, seperti: القاضي عادل. Demikian isim yang diidhafatkan kepada ياء المتكلم terdapat dalam kalimat seperti: كتابي جديد.

STUDI MORFOLOGI

a. Pentingnya Studi Morfologi

Studi morfologi membantu kita dalam menjelaskan kaitan-kaitan sintaksis antar kata dalam kalimat, menganalisis bentuk intern kata, dan menentukan morfem-morfem yang melekat pada setiap jenis kata, baik di awal, di tengah ataupun di akhir kata.

1. Menjelaskan kaitan-kaitan sintaksis dalam kalimat:

Kaitan-kaitan sintaksis antarkata dalam kalimat ada 3 (tiga), yaitu: 1) mauqi’iyah (posisi) 2) tadhâm (paduan/gabungan) dan 3) istibdal (substitusi). Kita ambil contoh: seseorang yang tidak mengetahui bahasa Arab, tetapi ia ingin mempelajarinya. Apabila dia tidak mengetahui jenis-jenis morfologi bagi setiap kata berikut: جرى , رجل, حصان dan ذكي, maka dia akan mendapat kesulitan dalam menganalisis suatu kalimat yang mengandung kata-kata itu atau mencakup sebagiannya. Adapun, apabila dia mengetahui jenis morfologinya, maka hal ini akan membantu dia dalam menganalisis kalimat yang mencakup kata-kata tersebut atau beberapa kata itu.

Dengan demikian , dia akan mampu menganalisis kalimat berikut:

(ب)

(أ)

جرى حصان

1- جرى رجل

جرى حصان ذكي

2- جرى رجل ذكي

جرى حصان (- ذكي)

3- جرى رجل (+ ذكي)

Apabila kita perhatikan contoh-contoh dalam nomor 1, maka dapati bahwa kedua kalimat (A) dan (B) itu benar, karena جرى adalah fi’il dan masing-masing رجل dan حصان adalah isim. (isim bergabung ke dalam fi’il). Atau isim diisnadkan kepada fi’il, maka hal itu dapat menghasilkan jumlah fi’liyah yang terdiri atas fi’il dan fail.

Adapun, apabila kita perhatikan contoh-contoh dalam nomor 2, maka kita dapati bahwa kata ذكي terletak sesudah fâ’il dalam contoh (A) dan (B). Kata ini berkategori sifat (adjektiva), sedangkan sifat bergabung kepada isim sebe-lumnya berdasarkan empat syarat, yaitu 1)’adad 2) jenis 3) ta’yin dan 4) alamat i’rab. Oleh karena kata ذكي merupakan sifat, maka ia mensifati kata رجل dalam contoh (2A) dengan kata ذكي . Karena itu, hubungan antara keduanya positif (+). Akan tetapi kata sifat ini tidak dapat bergabung dengan kata حصان, apabila kita menggantinya dengan kata رجل seperti terdapat dalam contoh (2B). Oleh karena itu, kaitan antara حصان dengan ذكي merupakan kaitan yang negatif (-). Yang menentukan hubungan positif dan negatif dalam pemaduan antara kata-kata itu adalah pertama jenis morfologis dan kedua makna leksikal. Dari sini, dapat dikemukakan bahwasanya kata رجل tidak dapat diganti dengan kata حصان untuk pemakaian kata sifat yang sama, yaitu (ذكي).

Dari sajian ini, jelaslah bagi kita pentingnya menjelas-kan jenis morfologi kata dalam bahasa tertentu.

Kategori morfologi dalam bahasa Arab meliputi isim, fi’il, sifat, zaraf, dhamir, khawalif, dan adat.

2. Menentukan morfem-morfem terikat yang melekat pada sebuah kata, baik di awal, di tengah ataupun di akhir kata:

Sesungguhnya menjelaskan jenis/kategori morfologis dapat membantu kita dalam menentukan morfem-morfem terikat yang melekat pada kata-kata. ال merupakan awalan pada kata isim (nomina) dan sifat (adjektiva); حروف المضارعة menjadi awalan pada fi’il (verba). Demikian pula لا النافية أو الناهية ولم terletak sebelum fi’il. التنوين menjadi akhiran pada أواخر الاسم المتمكن الأمكن . Dan الجر بالكسرة menjelaskan bahwa kata itu adalah isim, sedangkan الجزم بالسكون menjelaskan bahwa kata tersebut adalah fi’il. Demikian seterusnya.

3. Menganalisis bentuk intern kata:

Sesungguhnya studi wazan-wazan sharf (pola-pola mor-fologi) yang mujarrad (3 huruf murni) dan mazid (3 huruf bertambah), i’lal, ibdal dan wazan-wazan sharf yang berkaitan dengan itu – mencerminkan bidang yang subur untuk menganalisis konstruksi intern kata. Ini berarti bahwa sharf (morfologi) mengkaji pembagian kata ke dalam kata dasar/asal mujarradah) dan kata berimbuhan/jadian (mazidah), kemudian menjelaskan morfem-morfem terkait dan perubahan-perubahan yang terjadi pada akar kata/berimbuhan (mazidah), seperti: كتب واكتب وكاتب واستكتب وكتّب . Dan apabila kata/kata dasar ber’illat, seperti قال, maka yang termasuk ruang lingkup morfologi adalah menelusuri perubahan yang terjadi pada الألف (الفتحة الطويلة pada قال , seperti قال يقول قولا ....أقال يقيل وقام يقوم وأقام يقيم .

Juga, morfologi berkepentingan untuk menjelaskan morfem-morfem yang menunjukkan 1) ‘adad (numeralia), yaitu tatsniyah/mutsanna (dualis) dan jamak, 2) jenis, yaitu ta’nis (feminin) dan tadzkir (maskulin), dan 3) i’rab, yaitu berbagai alamat/tanda i’rab.

B.Ruang Lingkup Kajian Morfologi

Ruang lingkup kajian morfologi terfokus pada ilustrasi penjelasan tentang jenis-jenis kata secara morfologis dalam bahasa tertentu, karakteristik-karakteristik bagi setiap jenis kata secara fungsional dan identifikasi bentuk-bentuk setiap kategori morfologis.

1.Ilustrasi jenis-jenis kata secara morfologis:

Ada beberapa bahasa yang membedakan jenis-jenis kata secara morfologis, seperti bahasa Cina dan bahasa Vietnam.

Akan tetapi kebanyakan bahasa membedakan berbagai jenis kata secara morfologis.

Dalam bahasa Arab jenis-jenis/kategori-kategori morfologis dapat dibagi ke dalam kategori isim (nomina), fi’il (verba), dhamir (pronominal), sifat (adjektiva), zaraf (adverbia) dan adapt (partikel). Pembagian ini mengacu kepada 4 (empat) prinsip, yaitu:

1) makna setiap kategori; isim maknanya menunjukkan sesuatu, seperti alam (nama diri) atau aksi, seperti mashdar atau jenis; dari jenis ini terdapat jenis isim jamak, seperti عرب dan isim jamak, seperti ابل ; atau menunjukkan isim mubham, yaitu isim yang menunjukkan jihat (aspek) waktu, mizan (timbangan), mikyal (takaran), miqyas (ukuran) dan ‘adad (numeralia). Fi’il maknanya menunjukkan hadats (aksi) dan zaman; dhamir menunjukkan syakhs mutakallim (persona pertama), hadhir (persona kedua), dan ghaib (persona ketiga); sifat menunjukkan mausuf; dan zaraf mengungkapkan makna jihat. Adat berfungsi untuk menghubungkan satu kata dengan kata lainya dalam kalimat.

2) Bentuk khusus setiap kategori morfologis; isim memiliki bentuk yang berbeda dengan fi’il dan masing-masing dari kedua bentuk itu berbeda pula dalam bentuk dhamir.

3) Karakteristik-karakteristik setiap kategori morfologis; bisa terjadi satu bentuk morfologis berhomonim dalam mengungkapkan lebih dari satu kategori morfologis, seperti shigat فعل mungkin menunjukkan isim, seperti pada جمل dan mungkin pula menunjukkan sifat, seperti padaحسن . Untuk membedakan kategori-kategori morfologis yang diungkapkan dengan satu shigat, kita bersandar pada tabel yang disebut tabel inflek-si/deklinasi (جداول التصريف) . Jadwal tashrif ada 3 (tiga), yaitu:

1) jadwal ilsaq (table afiksasi), yaitu yang menjelaskan morfem-morfem terkait yang melekat pada isim atau pada fi’il;

2) jadwal isytiqaq (table derivasi), yaitu jadwal yang menjelaskan kaitan isytiqaq antara satu sigat dengan sigat lainnya, seperti: fi’il, isim fâ’il, isim maf’ul, sigat mubalagah, dan isim tafdil;

3) jadwal isnad (tabel predikasi), yaitu predikasi (penyandaran) shigat sharfiyah (bentuk morfologis) yang menerima isnad sesuai dengan syakhs (mutakallim, mukhatab, dan ghaib).

Demikianlah, jadwal-jadwal ini dipakai untuk menen-tukan kategori kata secara morfologis – yang shi-gat/bentuknya tidak membantu kita dalam hal itu. Kata باع manakala tidak diberi harakat di akhirnya (ساكنة الآخر) sulit ditentukan jenis/kategori morfologisnya. Oleh karena itu, kita bersandar kepada tabel-tabel ini untuk menjelaskan kategorinya secara morfologis.

  1. jadwal ilsaq, melalui morfem-morfem terikat yang melekat pada isim atau fi’il, ia menjelaskan kategorinya/jenisnya secara morfologis (morpho-logical scatter).

Morphological scatter:

(2)

(1)

باع

باع

-

الباع

باعت

الباعة

لم يبع، لن نبيع

_

بع

_

Rangkuman:

(1) Jadwal nomor 1 menjelaskan morfem-morfem yang diterima oleh isim.

(2) Jadwal nomor 2 menjelaskan morfem-morfem yang diterima oleh fi’il

(3) Kata-kata dalam jadwal nomor 1 adalah isim; yang tercantum dalam jadwal nomor 2 adalah fi’il.

  1. jadwal isytiqaq: infleksi (tashrif) kata dalam jadwal ini menjelaskan bahwa kata itu adalah fi’il atau sifat. Maka apabila kata tersebut berupa isim, maka ia tidak dapat dimasukkan dalam jadwal ini (conju-gation table).

ماض :

باع

صفة مشبهة – الفعل المتعدى

مضارع :

يبيع

أفعال التفضيل – الفعل المتعدى

أمر :

بع

اسم فاعل :

بائع

اسم المفعول :

مبيع

  1. jadwal isnad; masuknya kata-kata dalam jadwal ini berarti bahwa kata-kata tersebut termasuk fi’il (prediction table).

ماض

مضارع

متكلم

بعت

أبيع

مخاطب

بعت

تبيع

مخاطبة

بعت

تبيعين

غائب

باع

يبيع

غائبة

باعت

تبيع

مخاطبان/غائبان بعتما/باعا تبيعان/يبيعان(1)

  1. Fungsi nahwu (sintaksis) yang terkandung dalam setiap unsur sharfi (morfologis): fungsi ini men-cakup – seperti telah kami jelaskan sebelumnya – mauqi’ (posisi), tadhâmm, dan istibdal (substitusi).

Ketiga faktor ini memberikan andil secara simultan dalam menentukan fungsi sintaksis bagi kategori mor-fologis. Misalnya, isim terletak sebelum isim lainnya dalam jumlah ismiyah (kalimat nominal). Dalam hal ini, kita jadikan salah satunya sebagai mubtada (subjek/pokok kalimat) dan yang lainnya sebagai khabar (predikat-/sebutan), seperti أخي مهندى . Isim bisa terletak setelah fi’il untuk menjadi fa’ilnya, seperti: أكل الولد . Adapun sifat terletak setelah isim mausufnya dengan syarat harus ada persesuaian antara keduanya (sifat dan mausufnya) dalam adad, jenis, ta;yin, dan alamat i’rab. Oleh karena itu, kita katakan: الولد الطويل مسرع , جاء الولد الطويل dan seterusnya.

SINTAKSIS STRUKTURAL

A. Makna Kata Sintaksis

Sintaksis (Nahwu) mengkaji unsur-unsur yang dapat membentuk kalimat dan menentukan posisi-posisi fungsi-onal/jabatan yang didudukinya dan hubungan yang terdapat di antara setiap unsur dengan unsur lainnya dalam struktur. Kajian nahwu (sintaksis) berdasar pada 2 (dua) hubungan – seperti yang dikemukakan oleh De Saussure – yaitu 1) hubungan sintagmatik dan 2) hubungan paradigmatik.

1. Teori Sintaksis Modern

Teori Nahwu Modern disebut teori struktural; sementara teori nahwu klasik dinamakan teori tradisional. Jespersen berpendapat bahwa teori tradisional mengacu pada asumsi teoretik untuk menafsirkan fenomena-fenomena bahasa yang sejalan dengan kaidah-kaidah yang dibuat untuk memerikan bahasa tertentu.

Kita dapat membuktikan kebenaran pendapat Jespersen, dengan argumentasi bahwa para ulama Basrah berpendapat bahwa (إذا) , yaitu zaraf madhi non-spesifik, lazim diidhafatkan kepada jumlah fi’liyah dan tidak diidhafatkan kepada jumlah ismiyah, seperti: (آتيك اذا قام زيد). Akan tetapi apabila terjadi zaraf itu diidhafatkan kepada jumlah ismiyah, maka para ahli nahwu Basrah mentakdirkan fi’il mahdzuf (mengira-ngirakan fi’il yang dibuang) yang ditafsirkan oleh fi’il yang sudah disebutkan. Demikianlah mereka mengi’rab isim yang terletak sesudah (إذا) sebagai fâ’il bagi fi’il mahdzuf yang ditafsirkan oleh fi’il yang mengiringi isim ini. Kita dapat menjumpai i’rab ini dalam firman Allah SWT:

(وإذا النجوم انكدرت، وإذا الجبال سيرت، وإذا العشار عطلت) سورة التكوير: آية 1-4. (إذا السماء انفطرت، وإذا الكواكب انتثرت، وإذا البحار فجرت، وإذا القبور بعثرت) سورة الانفطار: آية 1-4 (إذا السماء انشقت، وإذا الأرض مدت) سورة الانشقاق، آية 1،3.

Adapun teori modern dalam sintaksis dinamakan teori struktural. Teori ini menolak asumsi teoretik dalam menfsirkan fenomena-fenomena sintaksis. Baik pada tingkat teoretik maupun tingkat aplikatif, teori ini lebih memen-tingkan kajian bentuk, fungsi struktur dan kaitan antar berbagai unsur dalam kalimat. Telah kami jelaskan pada bagian terdahulu bahwa bahwa linguistik merupakan ilmu eksperimental, sedangkan ilmu-ilmu eksperimental berdasar pada observasi. Sintaksis struktural dalam kajiannya sangat bergantung pada observasi. Studi yang berdasar pada observasi menjelaskan unsur-unsur sistem yang dianut oleh bahasa tertentu untuk melaksanakan fungsinya, yaitu komunikasi antar anggota kelompok yang berbicara dengan bahasa ini. Sistem ini tidak perlu dibandingkan dengan sstem dari bahasa lainnya karena para penutur asli bagi bahasa tertentu mengetahui sistem ini melalui latihan pemakaian bahasa mereka sehari-hari. Juga mereka tidak perlu menguasai sejarah bahasa ini untuk mengetahui sistem bahasa mereka. Hal ini berarti bahwa observasi bagi kerangka sistem komunikasi bahasa tertentu membawa kepada penjelasan kerangka sistem ini.

Teori sintaksis struktural menolak acuan pada makna untuk menafsirkan kaitan-kaitan antar unsur dalam kalimat. Misalnya, apabila kita memiliki unsur-unsur berikut: لعب الولد في الحديقة , maka sintaksis struktural lebih mementingkan prinsip-prinsip distribusi unsur-unsur ini untuk membentuk sebuah kalimat yang berterima. Misalnya, unsur لعب bisa terletak sebelum unsur الولد atau sesudahnya.

Adapun unsur (في) berkaitan dengan unsur لعب dan selalu terletak sesudahnya. Dan kata الحديقة merupakan unsur yang langsung mengiringi (في) . Demikianlah, klasifikasi bagi setiap unsur dapat membantu kita dalam menyusun dan membentuk kalimat tersebut: لعب الولد في الحديقة atau الولد لعب في الحديقة . Dari sini kita lihat bahwa unsur bahasa yang mendahului (ال) terletak sebelum fi’il atau sesudahnya. Unsur itu dapat terletak sesudah harf jar (حرف الجر), misalnya (في). Dan unsur yang kontras dengan (ال) dalam bahasa Arab adalah tanwin (التنوين). Ini berarti bahwa unsur yang bertanwin memiliki karakteristik yang sama dengan dengan unsur yang mengandung (ال). Dari sini kita melihat teori sintaksis struktural tidak mengacu pada makna (bermakna) untuk menafsirkan kaitan antar unsur-unsur dalam kalimat, tetapi menggantinya dengan prinsip distribusi.

Teori sintaksis struktural di samping lebih memen-tingkan prinsip distribusi, juga mementingkan prinsip lain, yaitu prinsip yang menjelaskan kaitan-kaitan antar unsur pada berbagai tingkat, yaitu tingkat struktur, tingkat bentuk morfologi, dan bab-bab sintaksis.

Teori sintaksis struktural mengacu kepada makna manakala ia menafsirkan kaitan antara 2 (dua) unsur yang keduanya dapat dihubungkan dengan ciri-ciri sintaksis yang berbeda. Misalnya قم قائما ; kaitan antara kedua unsur ini sulit ditafsirkan kecuali dengan mengacu kepada makna. Maka قائما di sini bermakna قياما , yaitu قم قياما . Jadi, (قائما) berfungsi sebagai maf’ul mutlak (مفعول مطلق) bagi fi’il amr (قم).

B. Satuan Sintaksis

Kajian-kajian sintaksis tradisional terfokus pada menjelaskan perbedaan antara kata dan kalimat. Ia membedakan satu kalimat dengan kalimat lainnya dengan memakai tanda i’rab; ia membedakan satu kata dengan kata lainnya dengan mengacu pada bentuk tulisan. Akan tetapi kajian-kajian itu tidak mementingkan pembagian kata atas satuan-satuan atau unsur-unsur yang lebih penting daripada kata, padahal semua bahasa manusia memakai unsur-unsur yang paling kecil dalam menjelaskan berbagai kaitan sintaksis. Misalnya dalam bahasa Arab: المسلمون; kata ini terdiri atas 3 (tiga) unsur . yaitu: ال + مسلم + ون . unsur pertama (ال) menunjukkan ta’rif (definit); unsur kedua (مسلم) menunjukkan seseorang yang beragama Islam, unsur ketiga (ون) menunjukkan jama’ mudzakar sâlim dalam keadaan rafa’. Misalnya dalam bahasa Inggris, kata (unacceptable) tersusun dari unsur-unsur berikut: un + accept + able. Masing-masing unsur ini memiliki unsur karakteristik distribusi. Unsur-unsur ini merupakan satuan-satuan terkecil yang tidak dapat dianalisis ke dalam satuan-satuan yang lebih kecil lagi. Satuan-satuan yang paling kecil yang dapat membentuk sebuah kata adalah yang disebut dengan istilah morfem. Oleh karena itu, kita mempunyai 3 (tiga) satuan dalam analisis sintaksis, yaitu:

a) kalimat b) kata dan c) morfem.

Teori sintaksis struktural mengamati bahwa di antara kata dan kalimat terdapat 2 (dua) satuan lainnya, yaitu: a) tarkib ismi (frasa nomina) dan b) tarkib fi’li (frasa verba).

1. Frasa Nomina

Yang dimaksud dengan tarkib ismi (frasa nomina) adalah seperangkat unsur yang satu sama lainnya berkaitan; ia cocok menduduki fungsi yang sama dalam kalimat. Secara sintaksis, ia sama fungsinya dengan kata tunggal (كلمة مفردة). Maka semua unsurnya diganti dengan nomina (اسم).

Bagian-bagian frase nomina (التركيب الاسمي) adalah:

a. Isim yang dimakrifatkan dengan adat ta’rif (partikel definit), seperti: الرجل ; atau isim yang bertanwin, seperti: رجل

b. Al-Jarr wal-majrur, seperti: بحسبك درهم . Maka kata بحسبك merupakan lafal murakkab (kata majemuk) yang tersusun dari huruf jarr dan majrur; lafal itu dapat diganti dengan isim, yaitu حسبك . Oleh karena itu semua yang murakkab ini beri’rab sebagai mubtada. Demikian pula الأخ في الدار , maka isim murakkab di sini adalah في الدار. Isim itu dapat diganti dengan satu kata. Oleh karena itu ia beri’rab sebagai khabar.

c. Idafat mahdhah, yaitu idhafat yang memberi arti kepada mudhaf sebagai takhsis (pengkhususan) apabila mudhaf ilaihnya isim ma’rifat, seperti: هذا غلام أحمد.

d. Masdar muawwal dari أن dan فعل مضارع atau ما dan فعل مضارع , karena secara sintaksis mashdar muawwal itu sama dengan satu isim, seperti firman Allah SWT (أن تصوموا خير لكم). Frasa أن تصوموا terdiri atas أن + تصوم + واو الجماعة . Ini merupakan frasa nomina (tarkib ismi), karena secara sintaksis frasa itu sama dengan satu isim, yaitu صومكم dan beri’rab sebagai mubtada.

e. Tabi’ dan matbu’, mencakup na’at, taukid, badal, dan athaf.

2. Frasa Verba

Yang dimaksud dengan tarkib fi’li (frasa verba) adalah seperangkat unsur yang berkaitan dengan fi’il (verba) untuk memberi arti takhsis atau nisbat atau taba’iyah. Frasa ini mencakup seperangkat unsur yang dapat diduduki oleh fi’il, yaitu:

  1. mashdar âmil, yaitu mashdar yang berfungsi sebagai pengganti fi'il amr, seperti: ضربا زيدا atau mashdar yang diidhafatkan kepada fâ'il, lalu menjarrkan fa'il, kemudian menashabkan maf'ul, seperti: عجبت من شرب زيد العسل. Mashdar bisa diidhafatkan kepada maf'ul, maka ia menjarrkan maf'ul, kemudian merafa'kan fâil, seperti: عجبت من شرب العسل زيد . Mashdar dapat juga diidhafatkan kepada zaraf, kemudian ia merafa'kan fâ'il dan menashabkan maf'ul, seperti: عجبت من ضرب اليوم زيد عمرا . Demikian pula, mashdar yang bertanwin dapat beramal sebagai fi'il, seperti firman Allah SWT:

(أو اطعام في يوم ذي مسغبة يتيما)

Atau masdar yang dilekati dengan, seperti ungkapan penyair:

ضعيف النكاية أعداءه – يخال الفرار يراخى الأجل

  1. Washf 'âmil, mencakup isim fa'il, isim maf'ul dan sifat musyabbahah, seperti:

أضارب زيد عمرا - يا طالعا جبلا - ما ضارب زيد عمرا

Ada satuan lainnya yang ketiga, yaitu jumlah (kalimat). Satuan ini dipakai untuk menyatakan posisi sintaksis tertentu. Jumlah ini bisa berupa jumlah ismiyyah atau jumlah fi'liyah. Hal ini berarti bahwa satuan kalimat dalam pemakaian ini secara sintaksis dianggap satu kata. Jadi, jumlah berikut beri'rab sebagai khabar. (أشكالها جميلة) dalam jumlah: الأزهار أشكالها جميلة .

· Kalimat

Bloomfield mengemukakan bahwa kalimat ialah bentuk bahasa yang dapat berdiri sendiri. Kalimat merupakan satuan bahasa yang paling besar dalam deskripsi sintaksis.

· Ujaran

Harris mengemukakan: Ujaran ialah kadar pembicaraan seseorang yang terjadi antara 2 (dua) senyapan, yaitu: senyapan pertama sebelum dimulai dan senyapan yang kedua sesudah berakhirnya.

Boomfield berpendapat bahwa ujaran tidak lebih besar dari kalimat dalam deskripsi sintaksis karena ujaran itu bisa mengandung satu kalimat atau dua kalimat atau tiga kalimat, tetapi antara satu kalimat dengan yang lainnya tidak terdapat struktur sintaksis. Berikut ini merupakan suatu ujaran:

كيف حالك؟ هذا يوم عليل. هل ستلعب تنس بعد الظهر.

Dengan menyajikan kalimat-kalimat ini, kita tidak mendapatkan kaitan sintaktis antara kalimat yang satu dengan kalimat lainnya.

Ujaran yang sulit ditafsirkan secara sintaksis, ke-banyakan ujaran itu terdiri atas beberapa kalimat, sedangkan kalimat-kalimat itu taat pada deskripsi sintaksis. Ia meng-istinbat kaidah bentukannya dari induksi kalimat-kalimat-nya. Salah satu ujaran yang sulit diperikan struktur sintaksisnya adalah seperti an-nida dalam bahasa Arab. Misalnya, أنت يا حسن ويا عبد الله , struktur ini sulit ditafsirkan secara sintaksis. Bagaimana kita memberi alasan adanya harakat dammah dan fathah pada munada pertama dan kedua berturut-turut. Memang, ujaran itu menyerupai kalimat karena ia dapat berdiri sendiri dan tidak membutuhkan yang lainnya, berbeda dengan contoh (أمس) sebagai jawaban dari pertanyaan (متى جئت؟). Ia merupakan kependekan dari kalimat جئت أمس . Maka kata (أمس) di sini adalah kalimat. Akan tetapi an-nida (النداء) bukanlah kalimat. Walaupun ia bisa berdiri sendiri, namun tidak mengikuti tafsiran sintaksis yang biasa. Ujaran semacam inilah yang dinamakan ready made utterence (الكلام الجاهز) oleh De Saussure. Sedangkan Dr. Tamam Hassan menamakannya maskukat (idiomatics). Ujaran ini merupakan ungkapan-ungkapan yang tidak dapat dianalisis secara sintaksis; ujaran ini dipakai oleh para penutur asli dalam situasi-situasi tertentu. Dari sudut pandang sintaksis yang akurat, ujaran semacam ini tidak dipandang sebagai kalimat, karena struktur internnya berbeda dengan struktur kalimat yang taat asas pada deskripsi sintaksis. Tanda dhammah dalam (يا حسن) sulit diberi alasan. Demikian pula, tanda fathah pada ungkapan (يا عبد الله); tanda dhammah dan fathah sesudah isim-isim fi'il, seperti هيهات زيد ودراك زيدا . Hal itu karena kedua isim fi'il tersebut bukan merupakan fi'il, sebab tidak dapat ditasrif seperti fi'il. Walaupun begitu, dalam deskripsi bahasa umum, jenis-jenis semacam ini harus kita lihat sebagai kalimat. Dalam pembahasan ini, kami namai kalimat idiomatik (الجمل المسكوكة).

C. Jenis-jenis Kalimat

Kalimat dapat digolongkan ke dalam 2 (dua) prinsip, yaitu: 1) prinsip fungsional dan 2) prinsip struktural.

1. Prinsip Fungsional (Makna)

Dalam prinsip ini jumlah (kalimat) terbagi ke dalam jumlah khabariyah dan insyaiyah. Jumlah khabariyah terbagi dalam jumlah musbatah (kalimat afirmatif), jumlah manfiyah (kalimat pengingkaran), dan jumlah muakkadah (kalimat penegasan). Jumlah insyaiyah terbagi dalam 3 (tiga) jenis, yaitu 1) jumlah thalabiyah (kalimat permohonan) 2) jumlah syartiyah (kalimat kondisional) dan 3) jumlah ifsahiyah (kalimat pujian, celaan dan aklamasi). Jumlah thalabiyah mencakup jumlah istifham (kalimat tanya), jumlah amr (kalimat suruh), jumlah nahy (kalimat larangan), jumlah 'ard (kalimat persilahan), jumlah tahdid (kalimat ajakan), jumlah tamanni dan tarajji (kalimat harapan). Jumlah syartiyyah dan jumlah qasm (kalimat sumpah) keduanya tergolong dalam jumlah insyaiyah.

2. Prinsip Struktural

Dalam prinsip ini kalimat terbagi dalam kalimat sederhana (tunggal) dan kalimat majemuk. Kalimat seder-hana terdiri atas satu kalimat. Adapun kalimat majemuk tersusun dari 2 (dua) kalimat atau lebih. Misalnya: جاء الذي عرفته في الحج. (جاء الذي) merupakan sebuah kalimat yang tersusun dari fi'il (جاء) dan fa'il (الذي); (عرفته في الحج) merupakan kalimat lainnya yang bertujuan untuk menjelaskan ketaksaan dalam isim mausul/kata ganti penghubung (الذي). Kita anggap kalimat itu sebagai kalimat kedua, karena secara sintaksis ia menduduki/sama dengan satu kata. Oleh karena itu, para ahli nahwa/sintaksis mengatakan bahwa jumlah as-shilah tidak menduduki i'rab (لا محل لها من الإعراب).

Jumlah-jumlah yang tersusun dari 2 (dua) jumlah, antara lain: jumlah syarat (kalimat kondisional) dan jumlah fi'liyah yang fi'ilnya beri'rab majzum dalam jawab thalab (tuntutan), seperti firman Allah SWT:

((ذرهم يأكلوا ويتمتعوا ويلههم الأمل)) (سورة الحجر: آية 3)

(( قل لعبادي الذين آمنوا يقيموا الصلاة وينفقوا مما رزقناهم)) (سورة إبراهيم: آية 31)

Kalimat pertama dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية تتكون من جملتين

الجملة (1)

الجملة (2)

جملة الطلب

جملة جواب الطلب

ذرهم

ويلههم الأمل

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي تركيب اسمي

فعل ضمير

ذر مستتر هم

يأكلوا وا

فعل أمر

Jumlah-jumlah yang terdiri atas 2 (dua) jumlah, antara lain jumlah yang mencakup fi'il manshub sesudah فاء السببية atau واو المعية dalam jawab نفي محض, seperti firman-Nya:

1- ((لا يقضى عليهم فيموتوا)) (سورة فاطر: آية 36).

2- (( لا يقضى عليهم فيموتو)) (سورة فاطر: آية 36).

3- ((ولما يعلم الله الذين جاهدوا منكم ويعلم الصابرين)) (سورة آل عمران: آية 142)

Atau thalab mahdh dengan berbagai jenisnya, yaitu amr, nahy, du'a, istifham, ardh, tahdid, dan tamanni, seperti firman-Nya:

1- ((لا تغتروا على الله كذبا فيسحتكم بعذاب)) (سورة طه: آية 61).

2- (( ربنا اطمس على أموالهم وشدد على قلوبهم فلا يؤمنوا حتى يروا العذاب الآليم)) (سورة يونس: آية 88).

3- ((فهل لنا من شفعاء فيشفعوا لنا)) (سورة الأعراف: آية 53).

4- ((لولا أخرتني إلى أجل قريب فاصدق)) (سورة المنافقون آية: 10).

5- ((يا ليتني كنت معهم فأفوز فوزا عظيما)) (سورة النساء: آية:73).

Juga, yang termasuk jumlah-jumlah ini adalah jumlah qasam. Jumlah ini terdiri atas jumlah qasam dan jawabnya, seperti:أقسم بالله لافعلنّ .

D. Struktur Sintaksis

Telah kami jelaskan sebelumnya bahwa ujaran dalam bahasa tertentu terbagi dalam satuan-satuan. Satuan yang paling besar dari segi sintaksis adalah jumlah (kalimat). Jumlah ada 2 (dua) jenis, yaitu 1) jenis pertama, dalam jenis ini jumlah (kalimat) dapat dianalisis dan diinduksi kaidah-kaidah strukturnya karena struktur kata-katanya mengikuti sistem tertentu dan 2) jenis kedua, dalam jenis ini jumlah tidak dapat dianalisis. Oleh karena itu, jumlah ini sulit ditafsirkan secara nahwi (sintaktis), seperti an-nida dalam bahasa Arab. Maka al-Munada bermabni pada rafa', seperti يا محمد dan bermabni pada nashab, seperti يا عبد الله ويا ولدا .

Menafsirkan mabni dhammah dan nashab dengan fathah merupakan hal yang sulit dari sudut pandang nahwu syakly (sintaksis struktural) yang tidak bersandar pada asumsi teoretik dan ta'wil sebagaimana kajian sintaksis tradisional. Jumlah semacam ini tidak dapat dideskripsikan dari segi nahwu yang akurat sebagai jumlah (kalimat). Akan tetapi jenis semacam ini kami namai jumlah tajawuz (kalimat idiomatik). Dan kajian dalam nahwu syakliy tidak menafsir-kan jenis ujaran semacam ini.

E.Unsur-unsur Langsung

Orang yang pertama kali memakai istilah ini adalah linguis bangsa Amerika, Bloomfield. Untuk memahami maksud istilah ini, kami sajikan contoh berikut:

الولد الطويل جرى سريعا

Para penutur bahasa Arab memahami bahwa ini merupakan sebuah jumlah ismiyah yang tersusun dari 2 (dua) unsur. Unsur pertama mencakup (الولد الطويل) dan unsur kedua mencakup (جرى سريعا). Blommfield mengatakan: Ini berarti bahwa jumlah ini terdiri atas 2 (dua) tingkatan yang lebih tinggi: 1) yang pertama adalah الولد الطويل dan 2) yang kedua adalah جرى سريعا . Masing-masing dari kedua tingkatan yang lebih tinggi ini tersusun dari 2 (dua) atau lebih tingkatan yang lebih rendah. Maka tingkatan pertama yang lebih tinggi terdiri atas 2 (dua) tingkatan yang lebih rendah, yaitu (الولد + الطويل) dan tingkatan kedua yang lebih tinggi tersusun dari beberapa tingkatan yang lebih rendah yaitu (جرى + الضمير المستتر في الفعل+ سريعا). Ini berarti tingkatan yang lebih rendah dapat membentuk bagian-bagian tingkatan yang lebih tinggi. Unsur-unsur tingkatan yang lebih rendah langsung membentuk tingkatan yang lebih tinggi, sedangkan tingkatan pertama yang lebih tinggi merupakan unsur langsung yang bersatu dengan tingkatan kedua yang lebih tinggi sehingga membentuk jumlah (kalimat). Jumlah terbagi dalam beberapa tingkatan yang secara langsung dapat dianalisis melalui salah satu teknik dari dua teknik, yaitu:

a. teknik/metode kurung, yaitu: (الولد الطويل) (جرى سريعا)

b. teknik/metode diagram pohon, yaitu:

جملة

تركيب اسمي تركيب فعلي

منعوت نعت فعل فاعل حال

الولد الطويل جرى XX سريعا

Dari bagan ini jelaslah bahwa unsur-unsur langsung bagi unsur pertama adalah: الولد الطويل dan unsur-unsur langsung bagi unsur kedua adalah: جرى سريعا . Unsur pertama dan unsur kedua membentuk dua unsur langsung bagi jumlah (kalimat).

F. Kaidah-kaidah Kontekstual

Hingga sekarang, kita telah berbicara tentang unsur-unsur langsung yang dapat membentuk kalimat dan makna-makna fungsional bagi unsur-unsur ini. Jumlah (kalimat) tidak hanya tersusun dari untaian unsur-unsur ini, tetapi tersusun juga dari sarana-sarana keterkaitan unsur-unsur ini. Sarana-sarana ini meliputi 1) alamat i'rab 2) mauqi'/rutbah (posisi kata) dan 3) tathabuq (persesuaian) yang mencakup jenis, 'adad dan ta'yin (ta'rif dan tankir).

1. Tanda I'rab

Perlu diketahui bahwa rafa' merupakan alamat/tanda isnad, yaitu musnad ilaih dan musnad, jika ia berupa isim; nasab merupakan alamat ta'diyah (ketransitifan) dan takhsis; dan jar merupakan alamat nisbat.

2. Posisi

a. Mubtada mendahului jumlah ismiyah dan diiringi khabar. Khabar bisa didahulukan dalam posisi-posisi tertentu yang dikemukakan oleh para ahli nahwu.

b. Fi'il mendahului jumlah fi'liyah

c. Shahibul hal mendahului hal.

d. Man'ut mendahului na'at. Demikianlah seterus-nya.

3. Persesuaian

a. Khabar harus sesuai dengan mubtada dalam jenisnya dan 'adadnya tetapi berada dalam ta'rif dan tankirnya.

b. Sifat harus sesuai dengan mausufnya dalam na'at haqiqy, baik dari segi jenis, 'adad maupun ta'yinnya.

c. Hal (kata keadaan) harus sesuai dengan shahibul hal dalam jenis dan 'adadnya, tetapi berbeda dalam ta'yinnya. Demikian seterusnya.

Sekarang kita selesai mengkaji jumlah yang sunsur-unsur langsungnya dari kata-kata tunggal (mufrad).

Ada jenis-jenis kalimat lainnya yang kita dapati salah satu unsurnya terdiri atas tingkatan yang lebih tinggi. Tingkatan ini bias berupa salah satu dari hal-hal di bawah ini:

  1. syibhu jumlah, yaitu jarr dengan majrurnya atau zaraf
  2. mashdar yang beramal sebagai fi'il;
  3. musytaq yang beramal sebagai fi'il
  4. jumlah kamilah (kalimat lengkap).

1. Syibhu Jumlah

Syibhu jumlah dapat berupa khobar.Hal itu bisa diamati melalui analisis 2 (dua) contoh berikut:

محمد في الدار – الشجرة يمين المنزل

  • Analisis jumlah pertama (محمد في الدار):

جملة اسميه

مسند إليه مسند

محمد في الدار

جار مجروره

في الدار

· Analisis jumlah kedua (الشجرة يمين المنزل):

جملة اسمية

مسند إليه مسند

تركيب اسمي شبه جملة

الشجرة ظرف مكان مضاف إليه

يمين المنزل

2. Mashdar yang beramal sebagai fi'il

Mashdar 'amil atau musytaq 'amil dapat membentuk tingkatan yang lebih tinggi menduduki unsur kalimat. Tingkatan ini tersusun dari tingkatan-tingkatan yang lebih rendah yang sebenarnya merupakan unsur-unsur langsung yang membentuk tingkatan yang lebih tinggi. Sebuah contoh untuk menganalisis mashdar 'amil adalah ungkapan penyair:

ضعيف النكاية أعداءه – يخال الفرار يراخي الأجل

جملة اسمية

مسند إليه مسند

تركيب فعلي

ضعيف النكاية أعداءه

مصدر الفاعل مفعول به

ضعيف النكاية أعداءه

3. Isim musytaq yang beramal sebagai fi’il

هذا ضارب زيدا الآن

جملة اسمية

تركيب اسمى تركيب فعلى

اسم فاعل الفاعل مفعوله ظرف

ضارب xx زيدا الآن

4. Jumlah yang memakai unsur jumlah lain

Maksudnya adalah apa yang telah dijelaskan oleh para ahli nahwu dengan judul jumlah-jumlah yang mem-punyai mahall (posisi) i’rab, antara lain :

a. jumlah yang terletak sebagai khabar, seperti :

محمد قام أبوه

b. jumlah yang terletak sebagai maf’ul, seperti :

(( ولا تمنن تستكثر)) (سورة المدثر : آية 6)

c. jumlah yang terletak sebagai maf’ul, seperti :

(1) ((قال اني عبد الله)) (سورة مريم : آية 30)

5. Jumlah murakkabah (kalimat majemuk kompleks), yaitu jumlah yang tersusun dari 2 (dua) jumlah; salah satunya merupakan jumlah asasiyah (kalimat pokok/induk kalimat) dan jumlah kedua adalah jumlah yang tidak mempunyai mahall (posisi) i’rab, seperti jumlah jawab syarat dan jumlah silah maushul.

TATA BAHASA TRANSFORMATIf -GENERATIf

Tata bahasa Transformatif-Generatif (Teori trans-formative generative grammar) dipandang termasuk perkembangan modern yang paling penting dalam kajian bahasa. Teori ini muncul berkat usaha Noam Choamsky dari Massa Chuset Institute of Technology (MIT). Dapat dikatakan bahwa teori ini lahir tatkala Choamsky mempublikasikan bukunya Syntactic Structure pada tahun 1957. Setelah itu terjadi perubahan-perubahan yang mengejutkan terhadap teori ini sehingga menjadi teori yang terpadu dan cocok untuk pemerian bahasa.

Sekarang teori transformative generative grammar menjadi sebuah teori yang terpadu untuk pemerian bahasa. Teori ini bertujuan untuk menafsirkan segala yang terpan-cang pada kompetensi penutur asli dengan tafsiran yang lengkap dan akurat. Pemerian bahasa bagi suatu bahasa merupakan usaha untuk menemukan tabiat penguasaan bahasa bagi si penutur itu. Oleh karena itu, pemerian yang ideal menuntut observasi performansi penutur sebab hal ini mengungkap kemampuan berbicaranya, membedakan, dan memahami kalimat-kalimat yang berterima secara sintaktik dalam bahasanya.

Sesungguhnya pemerian yang diseru oleh teori ini mengambil bentuk untaian kaidah. Sebagaiannya membi-carakan kaidah-kaidah nahwiyah (sintaktik) yang dibuat oleh kajian-kajian bahasa klasik. Kaidah-kaidah ini berdasar pada asas teori yang membatasi kerangka umum. Katanya kaidah-kaidah ini disebut kaidah generatif. Apabila kaidah generatif diterapkan secara utuh dan kontinyu pada semua kalimat sintaktik dalam bahasa, generasi yang dipinjam oleh teori ini dari istilah ilmu pasti tidak dimaksudkan untuk reproduksi kalimat-kalimat secara hakiki. Akan tetapi yang dimaksud dengan penurunan itu adalah prediksi terhadap bentuk kalimat yang benar secara sintaktis dan membedakan kalimat-kalimat yang tidak benar dari segi sintaksis. Di samping itu, linguis mampu membatasi pemerian struktural bagi setiap kalimat yangt benar dari sudut sintaksis dalam bahasa sebagai objek kajiannya. Dan untuk tujuan-tujuan pemerian, ia melihat bahasa itu mencakup sejumlah unsur sehingga mudah dihimpun kaidah-kaidah yang mempunyai karakteristik struktural yang mirip sama. Kidah-kaidah bahasa meliputi 2 (dua) unsur, yaitu : 1) yang pertama adalah struktural frasa dan 2) yang kedua adalah transformasi. Kaidah kedua unsur ini diterapkan dengan urutan terdahulu, yaitu kaidah-kaidah struktur frasa mendahului kaidah-kaidah transformasi. Dalam struktur bahasa yang diasumsikan bahwa bahasa itu merupakan satuan sintaktik yang paling besar, maka kalimat (yang diberi lambang (S) atau terkadang (∑) meluas dengan me-makai kaidah struktur pada satuan-satuan yang lebih kecil; kalimat itu diakhiri dengan struktur bahan leksikal unsur-unsur nahwiyah (sintaktik). Bagian dari teori ini menyerupai – dalam banyak segi – pembagian unsur-unsur langsung. Hal ini tampak jelas melalui analisis kalimat berikut:

اللاعبون يلعبون المباراة (جملة)

تركيب اسمي تركيب فعلي

أداة تعريف تركيب اسمي فعل تركيب فعلي

اسم أداة جمع حرف جذر فاعل تركيب اسمي

المضارعة الفعل

أداة اسم أداة

تعريف مؤنث جمع

ال لاعب ون ي لعب ون

ال مباراة X

Pemerian ini dibentuk dalam bentuk kaidah-kaidah aplikatif. Kaidah ini biasanya dinamakan Rewrite Rules, karena ia tersusun dalam bentuk berikut : X = Y + Z atau X → Y + Z. Demikianlah, maka dalam contoh tadi dapat diterapkan kaidah-kaidah itu dengan bentuk berikut dengan catatan bahwa satu kaidah terkadang diterapkan lebih dari stau kali.

1- الجملة تركيب اسمى + تركيب فعلي

2- التركيب الفعلي فعل + (ظرف) + تركيب اسمي

3- التركيب الاسمي اسم + (صفة)

Apabila kita terapkan kaidah-kaidah ini dengan urutan yang sama yang telah kita bicarakan tadi – di mana tiap kaidah berikutnya menuju ke analisis kaidah sebelum-nya kepada tingkatan yang lebih rendah, apapun lambang yang menghasilkan ungkapan yang menunjukkan struktur kalimat, maka kita akan memperoleh – dengan hanya menerapkan kaidah pertama – 2 (dua) unsur kalimat, yaitu dua tingkatan yang lebih tinggi: (tarkib isim/frasa nomina dan tarkib fi’il/frasa verba). Manakala kaidah kedua diterapkan, maka kita akan memperoleh tingkatan yang lebih rendah yang dapat membentuk fras verba atau unsur-unsur langsung yang dapat membentuk struktur ini. Hasilnya adalah sebagai berikut :

(( تركيب اسمي (اسم + صفة) + تركيب قعلي (فعل + فاعل + ظرف))

Demikianlah, setiap yang ada dalam kurung mencakup unsur-unsur langsung yang membentuk tingkatan yang lebih tinggi yang berkaitan dengannya. Untuk memperoleh unsur-unsur langsung itu, kita harus menyusun penerapan kaidah dengan urutan yang sama yang membentuk kaidah tersebut. Artinya bahwa kaidah nomor (2) diterapkan sebelum kaidah nomor (3). Setelah selesai menerapkan kaidah ini, kita akan sampai kepada struktur yang disebut dengan istilah jumlah (kalimat).

Apabila kita berupaya – setelah itu – menganalisis unsur-unsur langsung yang membentuk unsur pertama dan unsur kedua, maka kita akan meletakkannya – menurut fungsi yang diduduki oleh setiap unsur langsung dalam struktur ini – dalam bagian-bagian kalimat. Demikianlah, kita katakan bahwa unsur pertama adalah isim (nomina) karena ia menduduki fungsi yang sesuai dalam unsur ini. Adapun unsur yang kedua adalah sifat karena ia berfungsi membatasi makna isim ini atau mensifatinya, sedangkan unsur-unsur langsung dalam unsur kedua adalah fi’il (verba) karena ia berfungsi memutuskan الولد dengan الجرى pada waktu lampau. Dan unsur yang ketiga berfungsi menje-laskan sifat fi’il ini bahwa الجرى berlangsung dengan cepat. Makna ini merupakan makna yang fungsional.

Adapun apabila Anda ingin mengetahui makna semantik setiap unsur dari unsur-unsur ini, maka hal ini termasuk kajian khusus leksikon (kamus).

Apabila kita berupaya menurunkan kalimat lain berdasarkan pola kalimat ini, maka kita akan mengacu kepada leksikon supaya kita dibekali dengan unsur-unsur yang melaksanakan fungsinya – yang kita lihat – dalam kalimat pertama. Demikianlah leksikon mencakup istilah-istilah berikut:

الاسم : أحمد, عمر, ايراهيم, علي

الفعل : جرى, أكل, شرب, سافر

الصفة : طويل, قصير, سمين, رفيع

A. Kaidah Transformatif

Kaidah struktur frase dalam kalimat sederhana tidak cukup untuk menafsirkan struktur seutuhnya. Inilah kekurangan dalam teori sintaksis struktural yang mengacu pada pembagian unsur-unsur langsung. Teori Transform-ative Generative Grammar berupaya mengatasi kekurangan itu. Kita lihat bahwa sebagai akibat untuk mereproduksi kaidah struktur frasa, dapat diterapkan kaidah transformasi untuk membentuk hasil akhir untuk memerikan unsur sintaksis. Kaidah transformasi ini tidak hanya mencakup pembagian kalimat atau unsur-unsurnya ke dalam bagian-bagian yang sederhana, tetapi juga mencakup perubahan atau penyusunan kembali struktur dengan berbagai cara.

Transformasi mencerminkan bagian dari pengeta-huan si penutur secara potensial tentang hubungan antar kalimat yang memiliki pola dasar yang berbeda. Membe-dakan kalimat aktif (al-jumlah al-mabniyah lil ma’lum) dengan kalimat pasif (al-mabni-yah lil majhul), kalimat afirmatif dan kalimat pengingkaran, kalimat berita dan kalimat perintah serta kalimat tanya – mengacu kepada pengetahuan penutur asli tentang struktur itu. Misalnya :

فحص محمد الكتاب وفحص الكتاب، محمد لم يفحص الكتاب والكتاب لم يفحص، هل فحص محمد الكتاب ؟

Teori analisis unsur-unsur langsung tidak membantu kita dalam menjelaskan hubungan-hubungan ini karena teori itu tidak menggunakan semantik dalam membedakan kalimat-kalimat tersebut.

Demikianlah, dua kalimat berikut ini sama dari sudut pandang analisis unsur-unsur langsung:

محمد أحب فاطمة وفاطمة أحب أحمد

Akan tetapi kedua kalimat itu sebenarnya berbeda. Kaidah-kaidah transformasi menjelaskan hubungan-hubungan struktural antara dua kalimat, seperti yang kita lihat tadi, yaitu dengan menjelaskan perubahan-perubahan mendasar untuk mengubah struktur suatu kalimat ke dalam kalimat lainnya yang mengimbangi atau kontras dengannya atau yang menjelaskan perubahan-perubahan yang kita perlukan untuk membedakan satu struktur dengan struktur lainnya yang secara mendasar tidak berbeda. Demikian juga kaidah transformasi mencakup perubahan dalam menata unsur-unsur atau penambahan-penambahan atau pengurangan-pengurangan, seperti kita lihat dalam kalimat aktif dan kalimat pasif: فحص محمد الكتاب، فحص الكتاب

Ada banyak contoh kalimat yang sama dalam struktur sintaksisnya, tetapi berbeda dalam penataan unsur-unsurnya. Hal itu mengakibatkan perbedaan makna. Meskipun demikian, teori unsur–unsur langsung tidak mampu menjelaskan perbedaan ini sementara perbedaan itu tampak jelas melalui kajian kaidah-kaidah transformasi. Kaidah transformasi membantu kita dalam menafsirkan ketaksaan sintaksis. Bisa terjadi dua kalimat disusun dalam satu untaian dan untaian ini memiliki lebih dari satu makna, seperti yang terjadi pada idhafat mashdar. Manakala mashdar diidafatkan, maka kemungkinanya masdar itu diidhafatkan kepada fa’ilnya atau kepada maf’ulnya. Misalnya, kalimat:

زيارة الأصدقاء تسعد النفس. Kalimat ini mengandung kemungkinan memiliki dua makna : 1) الأصدقاء يسعدون بزيارة المضيف dan

2) المضيف يسعد بزيارة الأصدقاء. Tentu saja teori unsur –unsur langsung tidak akan mampu menafsirkan ketaksaan ini.

Ada ranah lainnya untuk menerapkan kaidah-kaidah transformasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua bahasa memiliki kelebihan karakteristik umum, yaitu memiliki kelebihan potensi reproduksi yang tidak terhingga. Oleh karena itu apabila kita memiliki kata-kata statis dan tidak berubah, maka jumlah kalimat yang berterima secara sintaksis yang dapat direproduksi dan dipahami oleh para penutur asli – tidak terbatas. Hal itu didukung oleh teori ini dengan judul al-Qawa’id al-Ijbariyah wal Qawa’id al-Ikhtiyariyah (Kaidah Wajib dan Kaidah Manasuka).

* Kaidah Wajib dan Kaidah Manasuka

Teori transformatif-generatif lebih mementingkan pembatasan kaidah yang menghasilkan turunan kalimat dasar, kemudian kaidah yang membantu dalam perluasan kalimat atau pembentukan kalimat majemuk yang terdiri dari 2 (dua) kalimat atau lebih. Kita akan berupaya menerapkan kedua jenis kaidah ini dalam bahasa Arab.

* Kaidah Wajib Bahasa Arab

Apabila kita berupaya menerapkan teori ini dalam bahasa Arab, maka pertama-tama kita harus membagi kalimat bahasa Arab ke dalam jumlah fi’liyah (kalimat verbal) dan jumlah ismiyah (kalimat nomina). Jadi, kita menolak konsep yang dipandang oleh sebagian orang bahwa jumlah ismiyah adalah dasar bagi jumlah fi’liyah berdasarkan penerapan teori ini.

Dalam jumlah ismiyah disusun kaidah sebagai berikut :

1- جـ __ تركيب اسمي + تركيب وصفي (اسمي)

2- __ تركيب وصفي (اسم) + صغة (اسم) + (تنوين)

3- __ تركيب اسمي __ ال + اسم (اسم علم أو ضمير) + (تابع)

Apabila kita berupaya menganalisis beberapa kalimat berdasarkan kaidah ini, maka kita analisis kalimat berikut :

(محمد طالب)

جملة اسمية

تركيب اسمي تركيب (تعبير) وصغي

اسم علم اسم فاعل منون

محمد طالب

Dalam jumlah fi’liyah tersusun kaidah-kaidah sebagai berikut :

1- __ تركيب فعلي + تركيب اسمي

2- التركيب الاسمي __ اسم (ضمير ظاهر أو مستتر) + (تابع)

3- التركيب الفعلي __ فعل

Contoh-contoh kalimat ini antara lain :

أكل الولد، أكلت، أكل.

Analisis kalimat (أكل الولد) :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

أكل الولد ال ولد

Analisis kalimat (أكلت) :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

أكل ضمير الرفع المتصل وهو التاء المتحركة

Analisis kalimat (أكل) :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

أكل مستتر

* Memperluas kalimat dasar/inti

Tatkala kalimat verbal dasar (jumlah fi’liyah assasiyah) yang dinamakan kalimat predikatif (jumlah isnad) itu diperbesar, maka kita perhatikan verbanya (fi’ilnya). Verba itu bisa intransistif (lazim) dan bisa juga transitif (muta’addi). Kalimat yang mengandung verba intransitif tidak diperluas dengan perantaraan objek. Adapun kalimat yang mengandung verba transitif dapat menerima objek atau sebagaimana pendapat para pakar sintaksis (ahli nahwu):

يتعدي الفاعل الى المفعول به.

Dengan demikian kita dapat memerikan struktur kalimat verbal (jumlah fi’liyah) sebagai berikut :

1- جـ ــ تركيب فعلي + تركيب اسمي S --- VP + NP

2- تركيب اسمي ــ اسم (ضمير/ظاهر) NP + -- N (PRO)

3- تركيب فعلي ــ VP ---

(أ) فعل لازم (A) INT V

(ب) فعل متعد + اسم (B) TRANST V

Contoh-contoh :

1- قام الولد

2- كتب الولد الدرس

Analisis kalimat nomor 1 :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل اسم

قام الولد

ال ولد

Analisis kalimat nomor 2 :

جملة فعلية

1 2

(أ) (ب)

كتب الولد الدرس

* Kaidah Manasuka

Hingga sekarang kita telah berbicara tentang qawa’id ijbariyah (kaidah wajib) yang dapat menghasilkan bentukan kalimat predikatif atau kalimat dasar, baik kalimat nominal (jumlah ismiyah) maupun kalimat verbal (jumlah fi’liyah). Manakala kita bedakan dua verba, intransitif dan transitif, maka kita dapati bahwa verba transitif adalah verba yang mengandung objek. Di samping kaidah tadi, ada kaidah manasuka (qawa’id ikhtiyariyah) yang digunakan untuk:

a. menjelaskan atau mengkhususkan kejadian/peristiwa yang ditunjukkan oleh verba atau tensisnya;

b. menjelaskan nisbat dalam hubungan predikatif, yaitu membuatnya sebagai hubungan nisbat;

c. menjelaskan taba’iyah (na’at, taukid, athaf dan badal).

Frasa-frasa yang memberikan makna takhsis terdirir atas 2 (dua) macam, yaitu 1) frasa yang mengkhususkan kejadian, yaitu salah satu dari kedua makna verba (intransistif dan transitif ); frasa-frasa ini berkaitan dengan frasa verba dan 2) frasa yang mengkhususkan frasa nomina yang disandarkan kepada verba, yaitu subjek atau mengkhususkan objek; frasa-frasa ini berkaitan dengan subjek (fa’il) atau objek (maf’ul bih).

1. Frasa yang mengkhususkan kejadian/peristiwa, yaitu :

a. Maf’ul mutlaq, seperti : أكلت أكلا. Kalimat ini dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي مفعول مطلق

أكل تاء الفاعل أكلا

b. Maf’ul li ajlih, menjelaskan sebab terjadinya verba, seperti : ضربت ابني تأديا. Analisis kalimat ini adalah sebagai berikut :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

مفعول به مفعول لأجله

ضرب ضمير الفاعل ابني تأديبا

(ت)

c. Maf’ul ma’ah, menunjukkan pernyataan, yaitu isim (nomina) yang dinasاabkan sesudah واو yang berarti مع (beserta), seperti :سرت ومحمدا. Analisis kalimat ini adalah sebagai berikut :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

مفعول معه

واو اسم منصوب

سار تاء الفاعل و محمدا

d. maf’ul fih (zaraf), membatasi waktu atau tempat kejadian/peristiwa yang ditunjukkan oleh fi’il (verba), seperti :

قابات محمدا أمام المسجد atau قابلت زيدا يوم الجمعة

Analisis kedua kalimat ini adalah sebagai berikut:

Analisis kalimat pertama: (قابلت زيدا يوم الجمعة)

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

مفعول به ظرف

مضاف مضاف اليه

قابل زيدا يوم الجمعة

Analisis kalimat kedua : (قابلت محمدا أمام المسجد)

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

مفعول به ظرف مكان

مضاف مضاف اليه

قابل تاء الفاعل محمدا أمام المسجد

2. Frasa yang memberikan makna takhsis (pengkhususan) pada frasa nomina (tarkib ismi) yang disandarkan kepada fi’il (verba), yaitu fa’il (subjek) atau memberi pengertian takhsis terhadap maf’ul bih (objek), yaitu :

a. Hal, menjelaskan keadaan perilaku subjek atau objek. Hal yang menjelaskan keadaan perilaku subjek, misalnya : جاء زيد ضاحكا, sedangkan hal (الحال) yang menjelaskan keadaan perilaku/cara maf’ul bih, seperti : شاهدت أخي ماشيا. Kalimat pertama dapat dianalisis demikian :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

صاحب حال حال

جاء زيد ضاحكا

Kalimat kedua dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

صاحب حال حال

مضاف مضاف اليه

شاهد تاء الفاعل أخ ي ماشيا

  1. Tamyiz, menjelaskan ketaksaan yang terkandung dalam fa’il (subjek) atau maf’ul bih (objek) atau khabar mubtada muakhkhar.

Contoh-contoh :

1- طاب زيد نفسا

2- غرست الأرض شجرا

3- عندى شبر أرضا

Analisis kalimat-kalimat ini adalah sebagai berikut :

Analisis kalimat nomor 1 :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

مميز تمييز

فعل فاعل

طاب زيد نفسا

Analisis kalimat nomer 2 :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

مميز تمييز

غرس ت الأرض شجرا

Analisis kalimat nomor 3 :

جملة فعلية

تركيب اسمي تركيب اسمي

(خبر) (مبتدأ)

مضاف مضاف اليه مميز تمييز

عند ى شبر أرضا

c. Istisna, memberi pengertian mengecualikan sesuatu dari fa’il atau maf’ul atau khabar

Contoh-contoh :

1- قام القوم الا زيدا

2- ضربت الطلاب الا محمدا

3- الطلاب حاضرون الا محمدا

Kalimat-kalimat ini dapat dianalisis sebagai berikut :

Analisis kalimat (1) :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

مستثنى منه أداة استثناء مستثنى

(فاعل)

قام القوم الا زيدا

Analisis kalimat (2) :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

مستثنى منه أداة استثناء مستثنى

(مفعول به)

ضرب الطلاب إلا محمدا

Analisis kalimat (3) :

جملة فعلية

تركيب اسمي تركيب اسمي

(مبتدأ) (خبر)

مستثنى منه أداة استثناء مستثنى

الطلاب حاضرون إلا محمدا

3. Frase-frase yang memberi pengertian nisbat adalah jar dengan majrurnya atau mudaf dengan mudaf ilaihnya.

a. Al-Jarr ma’a majrurihi : dalam membatasi huruf al-jarr, Ibnu Malik mengatakan :

(هاك حروف الجر، وهي : من، الى، حتى، خلا، حاشا، عدا، في، عن، على)

(مذ، منذ، رب، اللام، كي، ولو، وتا، والكاف، والياء، ولعل، ومتى)

b. Al-Mudaf wal mudaf ilaih : Misalnya :

كتاب الطالب مفيد

Kalimat ini dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة اسمية

تركيب اسمي تركيب اسمي

مضاف مضاف اليه

كتاب الطالب مفيد

4. Frase-frase yang memberi pengertian taba’iyah adalah na’at, taukid, athaf dan badal.

a. Na’at, memberi pengertian mengkhususkan man-’utnya, seperti:

مررت بزيد الخياط atau mencela man’utnya, seperti

(فاستعذ بالله من الشيطان الرجيم) atau menaruh rasa kasih sayang, seperti :مررت بزيد المسكين atau menegaskan man’utnya, seperti firman Allah SWT : (فاذا نفخ في الصور نفخة واحدة). Kita dapat menganalisis kalimat diatas sebagai berikut :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

بزيد الخياط

منعوت نعت

جار مجرور

مرر ت بـ زيد الخياط

Kalimat-kalimat lainnya dapat dianalisis dengan cara yang sama.

  1. Taukid, terbagai atas dua bagian, yaitu : 1) taukid ma’nawi dan taukid lafdhi.

1) Taukid ma’nawi, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu :

a) Menghilangkan dugaan yang disandarkan ke-pada muakkad; lafalnya ada dua, yaitu:

النفس والعين, seperti:

جاء زيد نفسه وجاءت هند نفسها وجاء الزيدان أنفسهما

وجاءت الهندان أنفسهما وجاء الزيدون أنفسهم

Kata النفس atau kata العين harus diidhafatkan kepada dhamir (pronomina) yang sesuai dengan muakkadnya.

Contoh tadi dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

مؤكد مؤكد

مضاف مضاف اليه

جاء زيد نفـ---------ه

b. Menghilangkan dugaan tidak dimaksudkan untuk keseluruhan. Kata-kata yang untuk taukid ma’nawi ini adalah : كلتا-كلا-كل dan جميع. Segala yang mempunyai bagian-bagian yang sebagian sah menempati keseluruhannya digunakan lafal taukid كل dan جميع. Misalnya : جاء الركب كله – جاءت القبيله كلها. Kata mutsanna muzakkar(dualis maskulin) ditegaskan dengan lafal taukid (كلا), seperti : جاء الزيدان كلاهما; kata mutsanna muannats (dualis feminin) ditegaskan dengan lafal taukid (كلتا) seperti : جاءت الهندان كلتاهما. Semuanya harus diidafatkan kepada dhamir yang menegaskan muakkad.

Contoh tadi, kalimat (جاء الركب كله) dapat dianalisis sebagai berikut :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

مؤكد مؤكد

مضاف مضاف اليه

جاء الركب كل ------ه

2. Taukid Lafdhi, yaitu pengulangan kata pertama, seperti firman Allah SWT : (اذا دكت الارض دكا دكا). Ayat ini dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي يفيد التوكيد

مؤكد مؤكد

دكت الأرض دكا دكا

c. 'Athaf, ada dua macam, yaitu 'athaf bayan dan 'athaf nasaq.

1) 'Ataf bayan adalah tabi’ jamid yang menyerupai sifat dalam menjelaskan matbu’nya dan ketiadaan berdiri sendiri. Ia sesuai dengan matbu’nya dalam hal i’rab, ta’rif, tankir, jenis dan ‘adadnya. Misalnya, firman Allah SWT :

(توقد من شجرة مباركة زيتونة) (ويسعى من ماء صديد)

Analisis kalimat pertama:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

معطوف عطف بيان

من شجرة مباركة

منعوت نعت

توقد مستتر من شجرة مباركة زيتونة

2) ‘Ataf nasaq, yaitu tabi’ yang memakai salah satu huruf berikut :

الواو : جاء زيد وعمرو

ثم : جاء زيد ثم عمرو

الفاء : جاء زيد فعمرو

حتى : قدم الحجاج حتى المشاة

أم : أزيد عندك أم عمرو

أو : جاء زيد أو عمرو

d. Badal, ada empat macam :

1) badal al-kull min al-kull, yaitu badal yang sesuai dengan mubdal minhunya, sama maknanya, seperti : مررت بأخيك زيد. Kalimat ini dapat dianalisis sebagai berikut:

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

مبدل منه بدل

جار مجرور

مرر ت بـ أخيك زيد

2) badal al-ba’dh min al-kull, seperti: أكلت الرغيف ثلثه

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

فعل تركيب اسمي

مبدل منه بدل

أكل ت الرغيف ثلثه

3) Badal isytimal, yaitu yang menunjukkan suatu makna dalam matbu’nya, seperti : أعجبني زيد علمه. Analisis kalimat ini adalah sebagai berikut :

جملة فعلية

تركيب فعلي تركيب اسمي

تركيب اسمي

مبدل منه بدل ني

نون الوقاية وضميرالمعقولية

أعجب زيد علمه

4) Badal al-mubayin lil mubdal minhu, terbagi atas dua bagian:

a) Matbu’ yang dimaksudkan seperti apa adanya. Badal ini dinamakan badal idhrab dan badal al-bida, seperti : أكلت خبزا لحما. Di sini pertama-tama Anda bermaksud mengabarkan bahwa Anda telah makan roti, kemudian tampaknya Anda mengabarkan bahwa Anda telah makan daging juga.

b) Matbu’nya tidak dimaksudkan, tetapi yang dimaksud hanya badal saja; hanya si pembicara salah ucap, lalu ia menyebutkan mubdal minhunya. Badal ini dinamakan badal al-ghalat wan-nisyan, seperti : رأيت رجلا حمارا. Pertama-tama Anda bermaksud mengabarkan bahwa Anda telah melihat keledai lalu Anda salah mengucapkannya dengan menyebutkan orang laki-laki.

Kalimat-kalimat ini dapat dianalisis seperti kalimat-kalimat sebelumnya.

B. Struktur Lahir dan Struktur Batin

Telah kita amati bahwasanya ada kalimat-kalimat dalam suatu bahasa yang berbeda dari segi strukturnya, tetapi sama dari maknanya. Sebaliknya, ada juga kalimat-kalimat yang tersusun dari struktur yang sama, kosa kata yang sama, dan posisinya tidak berubah. Namun kalimat-kalimat itu mengandung beberapa makna. Hal inilah yang mengakibatkan adanya perbedaan antara dua jenis struktur, yaitu struktur batin dan struktur lahir. Struktur batin ialah struktur yang mencakup hasil kaidah-kaidah struktur frasa/kalimat saja, sedangkan struktur lahir mencakup hasil penggunaan semua kaidah transformasi yang memungkin-kan dalam bahasa tertentu. Kaidah transformasi berfungsi mengubah struktur kalimat dalam suatu bahasa yang terdiri atas pemerian struktur batin dan struktur lahir serta kaidah transformasi yang menghubungkan keduanya.

Teori transformatif generatif menganggap fonologi sebagai rabithah (penghubung) yang menghubungkan struktur batin dengan struktur lahir. Karena itu, pemerian bahasa mengkaji unsur lainnya, yaitu unsur fonologi. Perangkat kaidah fonologi mengubah hasil struktur lahir ke dalam untaian-untaian bunyi terucap dan tertulis. Kaidah tulis membantu dalam mereproduksi untaian tulisan kata-kata tertulis. Dan lesikon mencakup perwujudan bentuk-bentuk fonologi kata. Akan tetapi bentuk-bentuk ini bisa berubah, apabila terletak dalam konteks tertentu.

Ini berarti bahwa teori transformatif generatif menyusun kaidah-kaidah sebagai berikut:

1. Kaidah dasar, yaitu kaidah yang dengan tuntutannya tersusunlah kalimat dalam struktur batin (dalam).

2. Kaidah transformasi, yang berfungsi mengubah struktur batin (dalam) ke dalam struktur lahir (luar).

3. Kaidah fonologi, yang berfungsi mengubah morfem-morfem mentalistik ke dalam satuan-satuan fonologi.

* Kaidah Dasar

Kaidah dasar adalah kaidah yang digunakan dalam struktur. Kaidah ini berlaku menurut sistem di bawah ini:

1. S --- NP + VP

2. VP --- V + NP

3. NP --- (Dpart + N (Plur Part)

1-ج – تركيب اسمي + تركيب فعلى

2-التركيب الفعلي— فعل+تركيب اسمي

3-التركيب الاسمي— (ال) + اسم + (أداة جمع)

Kaidah ini memerikan unsur-unsur pokok atau dasar kalimat. Dengan tuntutan kaidah ini dapat diperkirakan kalimat berikut:

محمد أكل الطعام

-- تركيب اسمي + تركيب فعلي

التركيب الفعلي – فعل + تركيب اسمي

(أكل) (الطعام)

التركيب الاسمي – اسم (محمد)

Jadi, kalimat tersusun dari frasa nomina/tarkib ismi (محمد) dan frasa verba/tarkib fi’li (أكل الطعام).

1. Susunan unsur-unsur pokok yang membentuk kalimat: Apabila nomina (isim) dahulu yang diletakkan, maka kalimat itu menjadi kalimat nominal (jumlah ismiyah). Dan apabila verba diletakkan terlebih dahulu, maka kalimat itu menjadi kalimat verbal (jumlah fi’liyah). Jadi, kita mempunyai 2 (dua) bentuk kalimat, yaitu :

محمد أكل الطعام – أكل محمد الطعام

2. Transformasi kalimat aktif ke dalam kalimat pasif dengan memperhatikan perubahan-perubahan yang terjadi:

أكل محمد الطعام --- أكل الطعام

atau ke dalam kalimat tanya dan seterusnya.

3. Kaidah-kaidah lainnya, yaitu masalah muthabaqah (persesuaian) antar bagian kalimat dan penjelasan makna-makna sintaktik untuk setiap struktur serta hubungannya dengan struktur-struktur lainnya.

* Kaidah Morfofonemik

Setelah selesai pembentukan kaidah transformasi, maka dimulailah tahap akhir penerapannya, yaitu trans-formasi kata-kata atau morfem-morfem ke dalam satuan-satuan fonologi atau transformasi ke dalam bentuk ucapan dari mulut si penutur.

DR. SHALIHUDDIN SHALIH H

FONOLOGI BAHASA ARAB

Disadur oleh:

Drs. Wagino hamid Hamdani

Editor:

Drs. H. Sugiarto Hs, M.Pd

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ASING

FPBS UPI 2005/2006

DR. SHALIHUDDIN SHALIH H

MORFOLOGI DAN SINTAKSIS

BAHASA ARAB

Disadur oleh:

Drs. Wagino hamid Hamdani

Editor:

Drs. H. Sugiarto Hs, M.Pd

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ASING

FPBS UPI 2005/2006

DR. TAMMAM HASSAN

SEMANTIK BAHASA ARAB

Disadur oleh:

Drs. Wagino hamid Hamdani

Editor:

Drs. H. Sugiarto Hs, M.Pd

PROGRAM PENDIDIKAN BAHASA ARAB

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA ASING

FPBS UPI 2005/2006